Dalam
rangka menjalankan pemerintahan daerah sebagaimana amanat undang-undang no. 18 Negara
Republik Indonesia tahun 1945, maka pemerintah daerah diberikan peluang
seluasnya untuk menjalankan pemerintahan daerah sebagaimana yang sering disebut
dengan OTODA (otonomi daerah). Penyelenggaraan otonomi daerah ini disertai
dengan memperhatikan potensi, peluang, keragaman, persaingan global, serta
hubungan susunan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dengan dibarengi
dengan pemberian hak dan kewajiban dalam penyelenggaraanya.
Adanya
kenyataan bahwa kosentrasi pembangunan selalu terfokus di daerah perkotaan,
yang senjutnya berimbas pada perpindahan masyarakat desa kekota untuk mencari
pekejaan (urbanisasi) semakin tak terkontrol, dilain sisi masyarakat yang
bermigrasi tidak hanya yang berskill, namun semua orang yang ingin meningkatkan
taraf hidupnya pun senantiasa berbondong-bondong ke kota, walaupun tidak
memiliki skill khusus. Selanjutnya karena jumlah lapangan kerja yang tidak
berbanding lurus dengan jumlah tenaga kerja produktif yang tersedia akhirnya
membuat para migran mencoba peruntungan di sektor informal.
Fenomena yang dapat kita saksikan sampai hari ini, yaitu
maraknya pedagang kaki lima yang berderet disepanjang jalan strategis adalah
dampak dari adanya pembangunan perekonomian yang tidak merata, dimana rakyat
yang memiliki distribusi pendidikan yang kurang beruntung tidak dapat mengakses
lowongan pekerjaan yang tersedia di sektor formal, akhirnya masyarakat yang
setidaknya harus menghidupi dirinya sendiri, atau bahkan menjadi tulang
punggung keluarga harus memutar otak untuk hanya sekedar memenuhi kebutuhan
primernya saja, hal ini mendorong masyarakat untuk menjadi pedagang kaki lima
yang nota bene tidak memerlukan banyak syarat procedural, atau lisensi ijazah
khusus. Dan dalam prakteknya, terdapat pedagang kaki lima yang legal yang
biasanya merupakan binaan pemerintah, sehinggan mendapat lahan yang memang
diperuntukkan sentra pedagang kaki lima, serta ada pula pedagang kaki lima
illegal dimana tempat yang mereka gunakan untuk melakukan kegiatan ekonomis
adalah fasilitas umum, pinggir jalan, dan trotoar yang bukan tempat yang
layaknya digunakan untuk pedagang kaki lima.
Timbulnya
sektor ini menurut Rachmawati adalah “akibat ketidak seimbangan jumlah penduduk
dengan, terutama usia kerjadengan kesempatan kerja serta lapangan usaha.
Menurut beliau rasio penyerapan tenaga
kerja dapat diilustrasikan bahwasetiap 10 orang pencari kerja, kesempatan kerja
yang tersedia adalah sejumlah 2, dan yang memenuhi persyaratan hanya 1 orang
saja”.[1]
Hal ini berarti kesempatan untuk mendapatkan kerja masih sangat sulit dan
selanjutnya berakibat pada peningkatan pengangguran di kota. Salah satu bentuk
usaha di bidang informal adalah usaha kecil menengah atau yang sering disebut
dengan PKL.
Di
lain sisi, Negara yang diberi amanat dalam konstitusi UUD 1945, diantaranya
adalah pasal 27 ayat (2) mengamanatkan: “Tiap-tiap
warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.” Pasal 34 UUD 45: (1) Fakir miskin dan anak terlantar di pelihara
oleh Negara (2) Negara mengembangkan system jaminan sosial bagi seluruh rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
Dari kutipan UUD 45 di atas, maka dapat kita ketahui bahwa Negara
harus memastikan setiap warga negaranya mendapatkan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, dalam hal ini mendapatkan pekerjaan. Dan jika terdapat warga
Negara yang tidak mampu untuk bekerja, maka Negara yang merupakan manifestasi
dari kekuasaan yang diamanatkan oleh rakyat, harus memeliharanya. Namun
demikian tidak tercapainya amanat konstitusi ini membuat masyarakat terdorong
untung menciptakan lapangan kerja baru, yang tidak memerlukan lisensi, atau
ijazah khusus (PKL). Membludaknya jumlah PKL di kota,
selanjutnya akan bersinggungan dengan upaya penertiban kawasan oleh pemeintah
daerah.
Kesuksesan
penyelenggaraan pemerintahan daerah bergantung kepada terciptanya suasana
lingkungan yang kondusif, terkendali, aman, dan sejahterah, sehingga pemerintah
daerah dapat menjalankan roda pemerintahan daerah dengan baik, dalam hal ini
terlihat betapa pentingnya peranan aparatur penegak disiplin, keamanan dan
ketertiban daerah untuk mendukung kelancaran pemerintahan daerah. Satpol PP
(satuan polisi pamong praja) dibentuk dengan tujuan untuk menyelenggarakan dan
menjaga ketertiban dan ketaatan hukum masyarakat, dalam kaitannya dengan
penegaan peraturan daerah. Yang kemudian menjaadi pekerjaan paling disorot
masyarakat adalah kinerja satpol PP dalam penertiban PKL, hal ini juga
diakibatkan oleh seringnya kasus penertiban PKL sering dimuat dalam media
massa, baik elektronik, cetak, maupun digital.
Dalam
terminologi peraturan daerah kota Malang no 2 tahun 2012 tentang ketertiban
umum dan lingkungan, sebagai mana termaktub dalam pasal 1 no 12, PKL disebut
sebagai: “Pedagang yang menjalankan
kegiatan usaha dagang dan jasa non formal dalam jangka waktu tertentu dengan
menggunakan lahan fasilitas umum yang ditentukan oleh pemerintah daerah sebagai
tempat usahannya, baik menggunakan sarana atau perlengkapan yang mudah
dipindah, dan/atau mudah dibongkar pasang”.[2]
Dalam
terminologi ini dapat diketahui bahwa PKL atau pedagang kaki lima tidak
diartikan sebagai pedagang yang menggunakan bangunan atau tempat jualan semi
permanen saja, melainkan dikhususkan lebih kepada pedagang yang melakukan
aktifitas pasar, ditempat yang telah disediakan pemerintah daerah. Oleh karena
itu PKL harus kemudian dilokalisir dalam tempat-tempat tertentu saja, tidak
berhamburan disembarang tempat/fasilitas umum. Dengan kata lain, pedagang kaki
lima tidak diperkenankan menggunakan tempat/fasilitas umum yang tidak
diperuntukkan untuk pedagang kaki lima.
Lebih
lanjut dipertegas dalam pasal 21 dimana PKL dilarang “a). melakukan kegiatan usaha di jalan, trotoar, jalur hijau dan/ atau fasilitas
umum, kecuali tempat-tempat yang ditetapkan oleh walikota. b). melakukan
kegiatan usaha dengan mendirikan tempat usaha yang bersifat semi permanen
dan/atau permanen. c). melakukan kegiatan usaha yang menimbulkankerugian dalam
hal kebersihan, keindahan, ketertiban, keamanan dan kenyamanan”. pembukaan
lahan untuk PKL harus memperhatikan hal-hal yang telah disebut di atas. Namun
demikian semakin kesini penegakan atas perda no 2 tahun 2012 tentang PKL
terkesan tidak maksimal, sebagaimana dapat dilihat adanya PKL di beberapa
tempat strategis yang ramai, sebagai mana diungkapkan Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan
PKL Dinas Pasar Kota Malang Bambang
Sugihartono (2015), bahwa “hampir semua PKL di malang itu illegal”.[3]
Kurang tegasnya pemkot dalam menindak PKL membuat menjamurnya PKL di
jalan-jalan strategis, belum lagi pedagang lama ditindak, pedagang kaki lima
baru sudah mulai bermunculan, hal ini dapat kita jumpai di jalan
soekarno-hatta, jl. Sigura-gura dll.[4]
Perangkat
peraturan daerah tidak diimbangi dengan adanya penegakan yang signifikan,
padahal hukum seyognyanya menjadi sarana terciptanya kenyamanan, keindahan,
ketertiban dalam bermasyarakat yang dilandasi dengan kesadaran kolektif, karena
itulah tujuan dari dibuatnya sperangkat peraturan (perda). Hogwood dan Gunn (dalam Wahab), menjelaskan bahwa:
“Kebijakan publik sebenarnya mengandung resiko untuk gagal.
Kegagalan kebijakan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu non-implementation (tidak
terimplementasi) dan unsuccessful
implementation (implementasi yang tidak berhasil). Kebijakan yang memiliki
resiko untuk gagal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya,
pelaksanaannya yang jelek (bad
execution), kebijakannya sendiri memang jelek (bad policy), dan kebijakan yang bernasib jelek (bad luck)”.[5]
Kurangnya
kesadaran masyarakat atas usaha penegakan hukum bersama dinilai menjadi salah
satu faktor dari tidak efektifnya penegakan hukum di Indonesia pada umumnya. Berdasarkan
uraian di atas, penulis merasa penting untuk melakukan penelitian dengan tema
Kendala
Pelaksanaan Pasal 3 Ayat (1) Huruf (b) & (d) Peraturan Daerah No 1 Tahun
2000 Tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima di Wilayah Kota Malang
(studi kasus penertiban pkl di kota malang).
B.
Pembatasan
Masalah
Penelitian
ini dibatasi pada bagaimana ketaatan warga masyarakat (pedagang kaki lima) pada
perda no 1 tahun 2000, dan bagaimana sikap pemerintah terhadap implementasinya.
Untuk membatasi jumlah objek penelitian yang di observasi maka peneliti
membatasi pada pedagang kaki lima yang berada di
sepanjang jalan soehat, sigura-gura, sunan kalijogo dalam, dan dikawasan pasar
merjosari.
C.
Rumusan
Masalah
Dari
uraian di atas maka dapat ditarik rumusan masalah, adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana implementasi penegakan dan
pembinaan PKL di jl. soehat, sigura-gura, sunan
kalijogo dalam, dan dikawasan pasar merjosari Kota Malang?
2.
Apakah kendalah-kendala yang yang
dihadapi dalam pelaksanaan perda nomor 1 tahun 2000 di Kota Malang?
D.
Tujuan
Penelitian
Dari
rumusan masalah di atas, maka dapat diketahui tujuan dari penelitian ini
adalah, sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui implementasi penegakan dan
pembinaan PKL di jl. soehat, sigura-gura, sunan kalijogo dalam, dan dikawasan
pasar merjosari?
2.
Untuk mengetahui kendalah-kendala yang
dihadapi dalam pelaksanaan perda nomor 1 tahun 2000 Kota Malang?
3.
Manfaat
Penelitian
Berdasarkan
kajian di atas maka manfaat pennelitian dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Manfaat Teoritis
Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi pemerintah daerah dalam
hal penegakan, dan pembinaan pedagang kaki lima di wilayah kota Malang.
2.
Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan untuk selanjutnya digunakan oleh pihak terkait dalam
hal penegakan, dan pembinaan Pedagang Kaki Lima di Kota Malang.
4. Telaah Pustaka
Tinjauan
tentang perundang-undangan bukanlah pembahasan yang sama sekali baru pada
bidang kajian hukum, khususnya pada tugas akhir sarjana hukum, setidaknya
penulis bisa menunjukkan beberapa penelitian sebelumnya yang memiliki tema
kajian yang mirip. Hal ini dilakukan untuk dapat diketahui oleh para penguji
dan civitas akademika yang akan meninjjau penelitian ini, dan selanjutnya
mengetahui bahwa skripsi ini adalah tulisan yang orisinil, dan dapat
dipertanggungjawabkan, diantara karya-karya sebelumnya yang dapat penulis
paparkan adalah sebagai berikut:
Mamba’ul
Ulum, sripsi yang berjudul “Respon pedagang kaki liman(PKL) terhadap kebijakan
relokasi (Studi Kasus di Paguyuban PKL demantu Yogyakarta.[6]
Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa penertiban dan relokasi terhadap PKL
berdampak kepada pemerintah, masyarakat dan pedagang kaki lima pada khususnya.
Relokasi yang akan diberlakukan oleh pemerintah, tidak memberikan informasi
yang jelas terkait tempat yang baru, skripsi ini menyoroti apakah implementasi relokasisudah sesuai dengan perda kabupaten
magelang No. 7 tahun 2009 penataan pemberdayaan pedagang kaki lima.
Arif
budiono,[7]
dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa revitalisasi alun-alun kota Kebumen
belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pemerintah, dan
masyarakat, serta dianggap tidak tepat sasaran.
Aris
Suar Bhakti I,[8]
Menyimpulakan bahwa upaya petugas dalam melaksanakan perda nomer 7 tahun 2012,
penyelenggaraan dan pengelolaan pedagang kaki lima (PKL) sudah dilakukan dengan
baik, namun masih ada kerangan. Salah satunya adalah belum tersedianya lahan
yang disediakan oleh pemerintah untuk digunakan pedagang kaki lima dengan
nyaman.
E.
Metode Penelitian
Metode
penelitian dimaksudkan agar memudahkan peneliti dalam mengumpulkan dan
menganalisis data, selain itu metode penelitian juga menggambarkan bagaimana
keabsahan suatu penelitian, dan selanjutnya dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah. Adapun metode penelitian yang digunakan penyususun adalah sebagai berikut:
F.
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif,
dimana data yang digunakan berupa kata, tindakan dan proses, “…metode ini akan
mengandalkan pada pertanyaan tertulis dan lisan subjektif mengenai arti yang
diberikan oleh individu yang dikaji”.[9]
Dan jenis penis penelitian ini adalah diskriptif.
G.
Kehadiran Peneliti
Untuk mendapatkan jawaban, menelaah dan menganalisis
secara mendalam mengenai permasalahan yang dirumuskan oleh peneliti, maka
kehadiran peneliti pada lokasi penelitian menjadi sangat penting, hal ini
dikarenakan peneliti dalam penelitian kualitatif adalah merupakan instrument
utama. Dimana ia sebagai perencana, pengumpul data, penafsir data.[10]
Proses tersebut dilakuakan pada latar alamiah dengan menggunakan teknik
wawancara dan metode dokumentasi.
H.
Lokasi Penelitian
Untuk menghindari bias dalam penelitian ini, maka
penulis ingin membatasi bahwa penelitian ini dilakukan di kota malang, dalam
hal ini peneliti akan banyak menggali data dari dinas terkait dengan penanganan
pedagang kaki lima, dalam hal ini adalah dinas pasar kota malang.
I.
Sampling
Pada penelitian ini, peneliti tidak menggunakan
sampel acak, karena dalam penelitian kualitatif tidak membutuhkan banyak sampel
yang representative seperti pada penelitian nonkualitatif. Oleh karena itu
peneliti menggunakan sampel bertujuan, sebagaimana diungkapkan Moleong “pada
penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan”.[11]
Dalam hal ini peneliti menentukan siapa saja yang akan digalih datanya.
J.
Jenis dan Sumber Data
Lafland dalam Moleong menjelaskan bahwa sumber data
utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan, dan
selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Jenis datanya
dibagi menjadi dua, yakni kata-kata dan tindakan.[12]
Dalam penelitian ini data akan diperoleh dari dinas yang terkait dan para
pedagang kaki lima.
K.
Teknik Pengumpulan Data
Ada bebrapa teknik pengumpulan data dalam penelitian
kualitatif, “periset memiliki beberapa metode pengumpulan bahan-bahan empiris,
mulai dari wawancara, pengamatan lansung, analisis artefak, dokumen, catatan
cultural, penggunaan bahan-bahan visual, sampai dengan pengalaman pribadi”.[13]
Pada penelitian kualitatif, peneliti harus menyediakan alat-alat pendukung,
seperti tape recorder, alat tulis,
selain itu kesiapan dari peneliti juga harus disiapkan.[14]
Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa wawancara,
dan dokumentasi.
a. Observasi (Pengamatan)
Pengamatan
dapat dibedakan menjadi beberapa klasifikasi, pengamatan dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu pengamatan berperanserta dan pengamatan tidak berperanserta.
Dikatakan pengamatan berperan serta jika peneliti melakukan pengamatan dengan
dua fungsi, pertama pengamat menjadi seorang pengamat, dan yang kedua peneliti
juga merangkap sebagai peserta dalam subyek pengamatan. Dalam hal ini peneliti
hanya melakukan pengamatan tidak berperanserta.[15]
b. Wawancara
Wawancara
adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh interviewer
(pewawancara) dan interviewee (yang
diwawancarai) atau informan, dalam hal ini interview dimaksudkan untuk
mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian. Licoln dan Guba menjelaskan
bahwa interview dimaksudkan untuk mengonstruksi orang, kejadian, kegiatan
perasaan, motivasi, tuntutan. Memverifikasi mengubah dan memperluas informasi
dari orang lain.[16]
Dalam
pengertian di atas maka dapat diketahui dalam pengumpulan data peneliti juga
melakukan verifikasi, atau dalam penelitian kualitatif lebih sering disebut
sebagai teknik triangulasi. Hal ini dimaksudkan untuk melihat kebsahan suatu
data, sehingga dapat dilanjutkan dengan tahap selanjutnya, yakni analisis, atau
penafsiran data. Ada beberapa cara dalam melakukan wawancara, sebagai mana
dijelaskan Potton, sebagai berikut:[17]
(1) Wawancara pembicaraan informal
Wawancara
dilakukan dengan suasana santai dan alami, seperti percakapan pada kehidupan
sehari-hari. sedangkan pertanyaa-pertanyaan yang diajukan pewawancara diajukan
secara spontanias. Jenis ini biasanya digunakan ketika peneliti sudah
mengetahui hal-hal yang mungkin akan dijawab oleh informan.
(2) Pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara
Jenis
wawancara ini mengharuskan pewawancara menggunakan pemandu wawancaara, yakni
garis-garis besar, pokok-pokok pertanyaan yang akan diajukan, namun pertanyaan
tidak harus ditanyakan secara berurutan. Pedoman wawancara hanya berupa
petunjuk-petunjuk pokok wawancara yang direncanakan dapat tercakup secara
keseluruhan.
(3) Wawancara buku terbuka
Wawancara
buku terbuka dilakukan dengan menggunakan petunjuk pertanyaan dan cara menanya
kepada informan yang sama, antara yang tertulis dengan yang akan ditanyakan.
Wawancara jenis ini dilakukan ketika jumlah informan banyak, dan jumlah
pewawancara juga banyak.
(4) Wawancara terstruktur dan wawancara tidak
terstruktur
Wawancara
terstruktur adalah wawancara yang pewawancara menetapkan sendiri masalah dan
pertanyaan yang akan diajukan. Pokok-pokok yang dijadikan dasar pertanyaan
diatur secara sangat terstruktur. Wawancara semacam ini jarang sekali melakukan
pendalaman pertanyaan.
Wawancara
tak terstruktur adalah wawancara yang dilakukan ketika responden terdiri dari
orang-orang yang dipilih saja, hal ini dikarenakan pewawancara meyakini
bahwaresponden adalah orang yang mengetahui, dan menguasai informasi yang
diperlukan.
c. Dokumentasi
Herdiansyah
menjelakan bahwa studi dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data
kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh
subjek sendiri atau dibuat orang lain tentang subjek.[18]
Studi dokumentasi merupakan salah satu cara peneliti untuk mendapatkan data,
atau gambaran melalui dokumen yang dibuat dari sudut pandang subjek.
Meleong
dalam Ardiansyah menyebutkan ada dua bentuk dokumen yang dapat dijadikan bahan
dalam studi dokumentasi, sebagai berikut:[19]
(1) Dokumen pribadi
Dokumen
pribadi adalah catatan atau karangan seseorang secara tertulis tentang
tindakan, pengalaman, dan kepercayaanya. Tujuan dari teknik ini adalah untuk
mengetahui suatu fenomena, atau kejadian yang ingin diteliti melalui pelaku
langusng, bagaimana pelaku merasakan dan mengartikan kejadian tersebut,
disertai dengan bagaimana lingkup social yang menyertainya.
Terdapat
tiga dokumen yang dapat digunakan peneliti kualitatif untuk dianalisis, yaitu
catatan harian, surat pribadi, dan autobiografi, selanjutnya dijelaskan sebagai
berikut:[20]
(a) Catatan harian
Catatan
harian merupakan catatan yang ditulis pribadi oleh subjek, yang otentik, yang
berisi setiap curahan hati subyek, peneliti kualitatif percaya bahwa catatan
harian memiliki unsure subjektif, spesifik, dan unik, yang dapat menggambarkan
situasi yang dialami oleh subjek.
Dijaman
digital ini orang yang menulis keluh kesah yang dihadapinya dalam buku harian
sudah semakin jarang, mereka lebih memilih menggunakan media digital yang
sekarang mulai rame-rame digunakan orang Indonesia.
(b) Surat pribadi
Analisis
dokumen juga bisa dilakukan menggunakan surat pribadi yang ditulis oleh subyek,
suratini setidaknya bisa menggambarkan dua hal, pertama unsur perasaan dan
pikiran penulis surat, dan yang kedua adalah hubungan antara penulis surat
dengan orang lain.
(c) Autobiografi
Autobiografi
berasal dari bahasa yunani yang berasal dari tiga suku kata, yakni autos (sendiri) bios (hidup) dan graphien yang
berarti menulis. secara definisi autobiografi adalah suatu tulisan mengenai
penggalan hidup, perasaan, pengalaman hidup atau suatu fase kehidupan yang
ditulis oleh individu yang bersangkutan, atau sekelompok orang sesuai dengan
situasi dan kondisinya secara nyata.
(2) Dokumen resmi
Moleong
menjelaskan bahwa dokumen resmi dapat dibagi menjadi dua, yakni dokumen
internal dan dokumen eksternal. Dokumen internal dapat berupa catatan, seperti
memo, pengumuman, intruksi, aturan suatu lembaga, system yang diberlakukan,
hasil notulensi rapat keputusan pimpinan, dan lain sebagainya. Sedangkan
dokumen eksternal dapat berupa bahan-bahan informasi yang dihasilkan oleh suatu
lembaga social, seperti majalah, Koran, bulletin, surat pernyataan, dan lain
sebagainya.[21]
Selain
yang telah disebutkan di atas karya lain dari subjek juga dapat digunakan,
seperti lukisan, puisi, dan karya yang lainnya.
L.
Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan data dapat dilakukan dengan
membandingkan data dengan data lain yang berada diluar data tersebut, “data
yang diperoleh dicek kembali pada sumber yang sama dalam waktu yang berbeda,
atau dicek dengan menggunakan data yang berbeda”,[22]
proses ini lebih sering disebut dengan istilah triangulasi. Triangulasi dapat
dilakukan dengan mengonfirmasi sumber, hal ini dapat dilakukan dengan
mendatangi informan dan menanyakan pertanyaan yang sama. Lebih lanjut diuraikan
sebagai berikut:[23]
1. Triangulasi dengan sumber
Tringulasi
sumber dapat dilakukan dengan membandingkan dan mengecek balik derajad
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda.
Hal ini dapat dicapai dengan;
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data
hasil wawancara.
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang dimuka umum
dengan apa yang dikatakan secara pribadi.
c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang
situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang
dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang-orang
berpendidikan menengah atau tinggi, orang berbeda, orang pemerintahan,
e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu
dokumen yang berkaitan
Pengecekan keambsahan data ini bukan untuk mencari
kesamaan pendapat, atau pandangan. Yang diutamakan dalam pengecekan ini adalah
mengetahui adanya alas an-alasan terjadinya perbedaan-perbedaan tersebut.
2. Triangulasi dengan metode
Jenis
triangulasi ini memiliki strategi yang harus dilakukan, (1) pengecekan derajad
kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data, dan (2)
pengecekan derajad kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sma.
3. Triangulasi dengan teori
Triangulasi
dengan teori menjelaskan bahwa fakta tidak dapat diperiksa derajad
kepercayaanya dengan menggunakan satu teori atau lebih. Hal ini dipertegas
bahwa yang demikian adalah dinamakan penjelasan banding (reveal explanation).
M.
Analisis Data
Proses menganalisis data dimulai dengan menelaah
seluruh data yang diperoleh, baik dari wawancara, maupun dari dokumentasi.
Selanjutnya peneliti melakukan reduksi sehingga diperoleh rangkuman, atau
abstraksi dari data-data yang terkumpul, yang selanjutnya dilakukan coding. Tahap terahir dari proses
analisis data adalah dilakukan pengecekan keabsahan data, setelah tahap ini
diselesaikan barulah peneliti melakukan proses penafsiran terhadap data
sementara. Sebagaimana dijelaskan lexy. J. Moleong:
Proses
analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai
sumber, baik data wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan
lapangan…. Setelah ditelaah langkah berikutnya peneliti kualitatif mengadakan
reduksi data yang dilakukan dengan jalan diabstraksi… langkah sselanjutnya
adalah menyususnya dalam satuan-satuan. Satuan-satuan itu kemudian
dikategorikan pada langkah berikutnya. Kategori-kategori ini dibuat sambil
melakukan koding. … mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Setelah tahap ini,
mulailah tahap penafsiran data…[24]
Lawrence menjelaskan bahwa analisis data mencakup
proses menguji, menyeleksi, menyortir mengategorikan, mengevaluasi,
membandingkan, menyintesiskan, dan merenungkan data yang telah direkam, juga
meninjau kembali data mentah dan rekaman.[25]
Adapun Seiddel menjelaskan bahwa proses dari analisis data kualitatif adalah
sebagai berikut:[26]
a. Mencatat dan menghasilkan catatan lapangan, dengan
hal ini diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.
b. Mengumpulkan, memilih dan memilah,
mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya.
c. Berpikir dengan jalan membuat agar kategori data itu
mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubunggan-hubungan, dan membuat
temuan-temuan umum.
Dari
uraian di atas penelitian kualitatif dilakukan dengan jalan turun ke lapangan
untuk mendapatkan data-data mentah untuk kemudian dilakukan proses reduksi,
atau menyederhanakan data dan kemudia dilakukan pengkategorisasian, agar lebih
mudah untuk dilacak kembali, selanjutnya dilakukan proses penafsiran untuk
kemudian disajikan dalam suatu laporan.
Salim,
Agus, Teori Dan Paradigm Penelitian
Sosial (Yogyakarta: tiara wacana, 2006)
Lexy
J. Moleong, Metodologi Penelitian
Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2009)
Ghony,
Djunaidi & Almanshur, Fauzan, Metodologi
Penelitian Kualitatif (Jogjakarta: AR-Ruzz Media, 2012)
Basrowi
& Suwardi, Memahami Penelitian
Kualitatif (Jakarta: Rineka Cipta, 2008)
Herdiansyah,
Haris, Metode Penelitian Kualitatif Untuk
Ilmu-Ilmu Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2010)
Pustaka I
Madjid,
Rachmawati, Jurnal Ekonomi (Vol. 1
No. 3 Mei – Agustus), 2013
Jatimprov, http://jdih.jatimprov.go.id/?wpfb_dl=13922
Suryamalang, http://suryamalang.tribunnews.com/2015/11/11/anda-mau-jadi-pkl-di-kota-malang-pikir-pikir-dulu
Perdana,
Nugraha, http://goresankuliah.blogspot.co.id/2016/02/analisisperaturan-daerah-kota-malang-no.html
Efita, Eka, dkk., Jurnal, Implementasi
Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima “Studi Pada Batu Tourism Center Di Kota Batu” (Jurnal
Administrasi Publik: vol. 1 No. 5)
[1] Rachmawati Madjid, Jurnal Ekonomi (Vol. 1 No. 3 Mei –
Agustus) hlm. 60, 2013
[2] http://jdih.jatimprov.go.id/?wpfb_dl=13922
(diakses tgl 18 februari 2017) 09.43 WIB
[3] http://suryamalang.tribunnews.com/2015/11/11/anda-mau-jadi-pkl-di-kota-malang-pikir-pikir-dulu
(diakses tangal 18-02-2017) 12.15 WIB
[4] Nugraha Perdana, http://goresankuliah.blogspot.co.id/2016/02/analisisperaturan-daerah-kota-malang-no.html
(diakses tgl 18-02-2017) 12.25 WIB
[5] Eka efita,
dkk., Jurnal, Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima
“Studi Pada Batu Tourism Center Di
Kota Batu” (Jurnal Administrasi Publik: vol. 1 No. 5) hlm. 943
[6] Mamba’ul Ulum, Respon Pedagang Kaki Lima (PKL) Terhadap
Kebijakan Relokasi (Studi Kasus Paguyuban PKL Demantu Di Yogyakarta, (Skripsi
Fakultas Dakwa Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jagayogyakarta, 2010)
[7] Arif Budiono, Revitaalisasi Kota Kebumen Terhadap
Perekonomianpedagang Kaki Lima, (Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga Yogyakarta, 2011)
[8] Arisman Suar bhakti I,
pelaksanaan peraturan daerah kota baubau nomor 7 tahun 2012 tentang pengelolaan
pedagang kaki lima dan pedagang kaki lima musiman, (skripsi fakulltas hukum
universitas hasanuddin, 2014)
[9] Agus Salim, Teori Dan Paradigm Penelitian Sosial (Yogyakarta: tiara wacana,
2006), hlm 55
[10] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif
(Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2009), hlm 168
[11] Lexy J. Moleong, Metodologi
Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hlm 224
[12] Ibid,, hlm 157
[13] Agus Salim, Ibid,, 61
[14] Djunaidi Ghony & Fauzan
almanshur,metodologi penelitian kualitatif (Jogjakarta: AR-Ruzz Media, 2012),
hlm 163
[15] Lexy J. Moleong, motodologi
penelitian kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hlm 176
[16] Basrowi & Suwardi, Memahami Penelitian Kualitatif (Jakarta:
Rineka Cipta, 2008), hlm 127
[17] Ibid,,..
[18] Haris Herdiansyah, Metode Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu
Sosial ( Jakarta: Salemba Hmanika, 2010), hlm 143
[19] Ibid, 143
[20] Ibid,, 144-145
[21] Ibid,, 146
[22] Ibid,, 318
[23] Ibid,, 322-323
[24] Djunaidi M. Ghony,, ibid..
245-246
[25] Ibid,, 246
[26] Ibid,, 248
0 Response to "KENDALA PELAKSANAAN PASAL 3 AYAT (1) HURUF (B) & (D) PERATURAN DAERAH NO 1 TAHUN 2000 TENTANG PENGATURAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI WILAYAH KOTA MALANG (STUDI KASUS PENERTIBAN PKL DI KOTA MALANG)"
Post a Comment