DEMOKRATISASI SISTEM PENDIDIKAN

Indonesia saat ini adalah merupakan masyarakat pasca kolonialisme, melihat bahwa Indonesia pernah menjadi Negara jajahan yang relative sangat lama, maka setidaknya butuh waktu yang panjang untuk menghilangkan citra Negara yang pernah menjajahnya, kaarena penjajah menjadi Negara yang superior bagi Indonesia, maka karakter penjajah yang kemudian diinternalisasi dalam karakter, budaya dan mitologi menjadi sangat kuat dan sukar untuk dihilangkan dalam waktu sekejap. Dalam sejarah popular, Indonesia pernah dijajah oleh belanda, portugis, ingris, dan jepang. Yang paling menjadi perhatian adalah penjajahan belanda yang mencapai 350 (tiga ratus lima puluh) tahun, dan jepang yang menduduki Indonesia selama sekitar 2,5 tahun. Jika dirata-rata angka harapan hidup masyarakat Indonesia adalah 75 tahun, maka praksis pendudukan penjajah di Indonesia adalah kurang lebih selama 4 generasi, oleh karena itu butuh kerja keras untuk dapat menjadi masyarakat yang demokratis.
Dilain sisi, pendidikan masa depan membutuhkan system pendidikan yang demokratis, dan pendidikan demokratis hanya dapat diwujudkan dalam masyarakat yang demokratis pula, memang pendidikan demokratis tidak seperti obat ajaib yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, tapi setidaknya banyak harapan yang dapat diperjuangkan, seperti kesetaraan, keadilan, dan harkat dan marrtabat manusia. Sebagaimana yang disebutkan dalam UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 bab III pasal 4 (1) bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan… [1]
Namun demikian kenyataan yang terjadi justru masih banyak proses pendidikan justru sebaliknya, hal ini ditunjukkan dengan pembelajaran yang terkesan monologis, proses pembelajaran lebih banyak mendengarkan daripada menginterpresi dan analisis terhadap suatu permasalahan, siswa diposisikan sebagai objek pembelajaran dan bukan sebagai subyek pendidikan, proses pembelajaran didominasi oleh pendidik, sehingga kurangnya siswa yang berkreasi dan mengembangkan postensimereka yang unik danberagam.
a.      Demokrasi Dalam Episteme pendidikan
Secara bahasa Demokrasi berasal dari bahasa yunani yakni demos dan kratos, demos yang berarti kekuasaan dan kratos yang berarti rakyat. Dan secara istilah demokrasi biasanya diartikan sebagai kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat danuntk rakyat. Jika ditarik pada suatu system pendidikan, maka demokrasi pendidikan merupakan suatu system yang memberikan ruang yang cukup untuk peserta didik melakukan pengembangan pada karakteristik, keunikan dan kemampuan, kopetensi yang dimilikinya untuk mencapai suatu tujuang pengembangan. Oleh sebab itu maka pembelajaran harus menyediakan treatmen yang berbeda pada setiap keunikan yang dimiliki oleh siswa.
Di sekolah peserta didik harus diberikan orientasi seputar hak, persamaan, kesetaraan, sehingga dalam proses belajar dapat saling menghormati, toleransi, pengendalian diri serta tidak bersifat egoistis. Dalam system ini rawan terjadi suatu sikap individualistis, oleh karena itu guru harus menyiapkan strategi, metode dan model pembelajaran kelompok, agar peserta didik juga belajar untuk bersosialisasi, dan bekerja sama.
Dalam hubungan sekolah dan orang tua murid, demokrasi pendidikan harus menyediakan ruang untuk wali murid turut memberikan sumbangsih pada pengambilan keputusan, agar supaya pengambilan keputusan tidak hanya diambil oleh guru dan pengurus sekolah, yang selanjutnya bisa dimengerti kebutuhan dan sekala prioritas pengembangan system pembelajaran.
b.      Hubungan antara demokrasi dan pendidikan
Banyak kalangan skeptis terhadap upaya pendidikan dalam demokratisasi, mereka berpandangan bahwa pendidikan akan diigunakan sebagai alat indoktrinasi, dan sosialisasi politik, oleh karena itulah mereka menganggap bahwa pendidikan akan menemui kesulitan untuk didemokratisasi. Disisi lain saya kira, bahwa pendidikan dapat menjadi poin penting dalam mendemokratisasi masyarakat, untuk menyebarkan nilai-nilai, sikap, semangat demokrasi, dan atau sebagai reproduksi pendidikan demokrasi.




[1] Dalam Mulyadi, membangun system pendidikan demokratis

Related Posts:

PENDIDIKAN DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI PENDIDIKAN

sistem pendidikan sudah semakin menghawatikan, dibeberapa institusi pendidikan dapat kita jumpai betapa pengambilan keputusan-keputusan terkain denganpelayanan pendidikan tidak lagi dimusyawarahkan, oleh karena itu dipandang perlu untuk mendemokratisasi pendidikan..
Untuk dapat mendownload file .ppt / .ppsh .pptx silahkan klik link berikut Pendidikan Demokrasi dan Demokratisasi Pendidikan

Related Posts:

PENCAK SILAT DAN UPAYA PELESTARIAN KEARIFAN LOKAL

Seni bela diri pencak silat adalah olah raga tradisional yang berasal dan asli dari Indonesia, namun begitu pencak silat secara luas juga dikenal dibeberapa Negara, misalnya Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina, dan Vietnam. Selain diwilayah aslinya, yakni Asia, seni bela diri pencak silat juga mulai digemari orang-orang di Australia, Belanda, Jerman dan Amerika. induk pencak silat yang menaungi organisasi pencak silat di berbagai Negara adala PERSILAT ( Persekutuan Pencak Silat Antar Bangsa).

Ditingkat daerah pencak silat menjadi olahraga bergengsi perebutan prestasi, misalnya diadakanya kejuaraan antar pelajar, dan Pekan Olah Raga Daerah, dan pada pergelaran Nasional terdapat PON, Pekan Olah Raga Nasional, bahkan sampai pergelaran Internasional.


Pencak silat merupakan olah raga yang menarik untuk disimak, pasalnya selain sebagai olah raga, pencak silat juga kaya akan hasanah nilai-nilai yang sangat luhur. Ke-khas-an dari pencak silat biasanya sesuai dengan budaya yang berkembang disuatu daerah dimana pencak silat dilahirkan, dan tentu saja disertai dengan dinamika dan sejarahnya sendiri. Aliran besar dari pencak silat adalah CIMANDE yang berasal dari Jawa Barat, beberapa perguruan silat di Jawa Timur juga mengadopsi pola permainan ini, misalnya PSHT (Persaudaraan Setia Hati Terate) dan Pagar Nusa (PN), dari sumatera ada harimau minang, di Jakarta ada pola permainan “betawian”, dll.

Permainan bela diri ini banyak dipengaruhi oleh budaya Cina, Agama Hindu, Budha dan Islam. Hal ini membuat permainan, tradisi dan pengembangan kanuragan menjadi sangat kaya, bahkan aka nada banyak sekali kanuragan yang kemudian tidak dapat diterangkan menggunakan logika sederhana, seperti ilmu kebal, dan ilmu kontak. Namun demikian artikel ini tidak untuk membahas berbagai kanuragan yang ada dalam pencak silat Nusantara. Dengan banyaknya aliran-aliran dalam pencak silat asli daerah, hal ini menunjukkan betapa kayanya Indonesia dengan Budaya, dan tentu saja nilai-nilai Kearifan Lokal yang terkandung didalamnya.

Kearifan lokal merupakan suatu system nilai, pengetahuan yang telah sedemikian kompleks telah menyatu dengan system kepercayaan, norma serta budaya dalam masyarakat yang diekspresikan dalam tradisi yang dianut dalam waktu yang relative panjang. Dengan sederhana dapat kita katakana bahwa kearifan lokal merupakan suatu pola interaksi antara manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya, dengan demikian maka kearifan lokal di setiap daerah, suku akan terasa berbeda, baik interaksi dengan lingkungann maupun sosial, bergantung pada tantangan alam dan kebutuhan hidup dari masyarakat. Sebagai contoh di dalam masyarakat agraria akan memiliki sistem interaksi dengan lingkungan yang berbeda dengan pola interaksi masyarakat nelayan.

Seni bela diri pencak silat memiliki akar kebudayaan yang sangat dalam, hal ini  tidak hanya dapat dilihat dari gerakan, pola langkah, serta kembangan, dll. Dengan demikian maka pelestarian pencak silat berarti juga melestarikan kebudayaan, dan kearifan lokal, dengan mengikuti pencak silat, berarti juga kita ikut melestarikan suatu nilai yang sangat luhur yang dimiliki bangsa, dan Negara Indonesia. Hal ini menjadi penting untuk kita renungkan hari ini, karena dalam masyarakat modern ini ada kecenderungan untuk mengikuti beladiri yang di impor dari Negara lain, yang sangat popular adalah muathai, thaekwondo, Karate, dll. Hal yang kemudian menarik adalah, ditengah merosotnya minat generasi muda untuk belajar pencak silat, ternyata masyarakat barat mulai menggemari kebudayaan Nusantara ini, seperti Australia, Jerman, Belanda, dan Amerika,  hal ini menjadi memilukan bagi kita, jangan sampai kita belajar silat di negeri orang. Kedepan, dunia pendidikan harus mengambil sikap untuk mengangkat dan mempopularkan seni bela diri pencak silat pada generasi penerus, jangan sampai pencak silat mati di rumahnya sendiri.

Related Posts:

Pendidikan Sebagai Solusi Pemberantasan Korupsi

Korupsi merupakan masalah yang sangat krusial untuk segera diselesaikan, dewasa ini kita menyaksikan dengan begitu nyata, korupsi telah mewabah, dampak dari desentralisasi kebijakan, korupsi tidak hanya terjadi dalam pusat-pusat pemerintahan saja, wabah ini telah menyebar dihampir semua sendi-kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, korupsi harus menjadi masalah yang diprioritaskan untuk segera diselesaikan. Tidak hanya urusan penyelenggara Negara, masyarakat biasa pun harus mengambil sikap untuk melawan tradisi korup di Negeri ini.


Pemberantasan korupsi telah banyak menyita perhatian dunia internasional, PBB pada Konferensi Merida (Mexico), telah menghasilkan konvensi pemberantasan korupsi sedunia, Konvensi PBB anti korupsi telah ditandatangi, dan mulai berlaku setela 90 hari setelah penandatanganan pada 18 desember 2003. Penandatangan tersebut diwakili oleh Menteri Kehakiman dan HAM Republik Indonesia di Markas Besar PBB.[1] Pemberantasan korupsi merupakan agenda utama dari reformasi, yakni perjuangan para mahasiswa dalam menentang rezim otoriter 1998, dari perjuangan tersebut, yang kemudian lebih dikenal dengan istilah Pemberantasan Korupsi Kolusidan dan Nepotisme (KKN), telah melahirkan beberapa jalan keluar, diantaranya adalah lahirnya rekomendasi TAP VIII/MPR/2001 yang berisi Arah Kebijakan Pemberantasan danPencegahan Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Dari rekomendasi selanjutnya diteruskan menjadi undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Hal yang kemudian menarik adalah masih adakah tempat bagi dunia pendidikan untuk ikut dalam upaya pemberantasan korupsi ini? memang butuh diskusi yang lebih mendalam untuk menjawab pertanyaan ini, namun sebagai intitusi yang diyakini sebagai bengkel reparasi moral, maka seyogyanya institusi pendidikan secara moral ikut bertanggung jawab atas terjadinya, maraknya kasus korupsi yang melanda negeri, namun kemudian, penulis masih belum tahu akan seberapa jauh upaya pendidikan dalam menangani kasus korupsi ini. bagaimana menyiapkan generasi penerus, generasi yang akan datang untuk lebih bermoral dan lebih berintegritas. pendidikan sebagai upaya pembudayaan, dan membudayakan, jika korupsi telah menjadi budaya yang membudaya, maka menjadi penting bagi pendidikan untuk menyiapkan kurikulum pemberantasan korupsi.

Penyusunan kurikulum anti korupsi akan menjedi polemic tersendiri jika muatan anti korupsi dijadikan satu mata pelajaran khusus, dan tersendiri, mengingat sudah berjejalnya jumlah mata pelajaran yang telah ada di dalam pendidikan dasar (SD) dan menengah (SMA/SMK/SMU), oleh karena itu perlu disusun menjadi pelajaran yang padu, terdapat dalam pelajaran Agama, Kewarganegaraan, Ilmu Pengetahuan Sosial, serta bimbingan Konseling BP/BK.

Selain pendidikan yang dijadikan sebagai instrumen pemberantasan korupsi, instrumen paling penting untuk mencegah dan memberantas kasus kasus korupsi yang terus menjamur di indonesia saat ini adalah peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan kasus rasuah tersebut. oleh sebab itu, upaya untuk terus meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kasus-kasus penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang menjadi investasi jangka panjang yang harus terus digalakan.



[1] H.A.R Tilaar, Multikuralisme

Related Posts:

PENGARUH PENGGUNAAN SMARTPHONE SEBAGAI MEDIA BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR MAHASISWA


PENGARUH PENGGUNAAN SMARTPHONE SEBAGAI MEDIA BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR MAHASISWA JURUSAN PIPS UINMALANG ANGKATAN 2013 PADA SEMESTER GASAL 2013/2014

Kata kunci: smartphone, Motivasi, hasil belajar

Smartphone adalah piranti telepon genggam yang memiliki banyak fungsi (multifungsi), hal ini dapat digunakan untuk fungsi komputer, ung sitelepongenggam (sebagai basis fungsihp),danfungsi GPS sertafungsi audio,Visual, dan lain-lain. Hal ini memungkinkan smartphone dapat digunakan sebagai media belajar. Karena dapatdigunakan untuk searching di internet, kemampuan memanipulasi objek dan kemudahan mengakses social media sehingga dapat digunakan untuk saling berkolaborasi.Penggunaan smartphone sebagai media belajar timbul karena inisiatif setiap individu, sehingga pada ahirnya hal ini akan dapat menimbulkan motivasi kepada mahasiswa, selanjutnya akanberdampak pada hasil belajar. Penelitian ini bertujuan (1) untuk mengetahui apakah ada pengaruh penggunaan smartphone terhadap motivasi, (2) untuk mengetahui apakah ada pengaruh motivasi terhadap hasilbelajar, dan (3) untuk mengetahui apakah smartphone sebagai media belajar berpengaruh terhadap hasil belajar melalui motivasi.

Penelitian ini dilakukan dijurusan PIPS FITK UIN Maliki Malang, dengan menggunakan metodekuantitatif, berjenis korelasional. Data yang dikumpulakan dari penelitian ini adalah penggunaan smartphone sebagai media belajar dan motivasi dengan menggunakan angket, dan hasil belajar dengan menggunakan dokumentasi Indeksprestasi(IP).

Berdasarkanhasilpenelitiandiketahuibahwa (1) ada pengaruh smartphone sebagai media belajar terhadap motivasi, besar pengaruhnya adalah sebesar 3,766 dan koefisien jalur (Beta) adalah 0,532. (2) Ada pengaruh Motivasi terhadap hasil belajar, besar pengaruhnya adalah sebesar 3,821 sementara koefisien jalur (Beta) adalah sebesar 0,537, dan (3) ada pengaruh penggunaan smartphone sebagai media belajar terhadap hasil belajar melalui motivasi besar pengaruhnya adalah sebesar 0,29, yang berarti mempunyai pengaruh sedang.


Related Posts:

KENDALA PELAKSANAAN PASAL 3 AYAT (1) HURUF (B) & (D) PERATURAN DAERAH NO 1 TAHUN 2000 TENTANG PENGATURAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI WILAYAH KOTA MALANG (STUDI KASUS PENERTIBAN PKL DI KOTA MALANG)

A.    Latar Belakang
Dalam rangka menjalankan pemerintahan daerah sebagaimana amanat undang-undang no. 18 Negara Republik Indonesia tahun 1945, maka pemerintah daerah diberikan peluang seluasnya untuk menjalankan pemerintahan daerah sebagaimana yang sering disebut dengan OTODA (otonomi daerah). Penyelenggaraan otonomi daerah ini disertai dengan memperhatikan potensi, peluang, keragaman, persaingan global, serta hubungan susunan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dengan dibarengi dengan pemberian hak dan kewajiban dalam penyelenggaraanya.
Adanya kenyataan bahwa kosentrasi pembangunan selalu terfokus di daerah perkotaan, yang senjutnya berimbas pada perpindahan masyarakat desa kekota untuk mencari pekejaan (urbanisasi) semakin tak terkontrol, dilain sisi masyarakat yang bermigrasi tidak hanya yang berskill, namun semua orang yang ingin meningkatkan taraf hidupnya pun senantiasa berbondong-bondong ke kota, walaupun tidak memiliki skill khusus. Selanjutnya karena jumlah lapangan kerja yang tidak berbanding lurus dengan jumlah tenaga kerja produktif yang tersedia akhirnya membuat para migran mencoba peruntungan di sektor informal.
Fenomena yang dapat kita saksikan sampai hari ini, yaitu maraknya pedagang kaki lima yang berderet disepanjang jalan strategis adalah dampak dari adanya pembangunan perekonomian yang tidak merata, dimana rakyat yang memiliki distribusi pendidikan yang kurang beruntung tidak dapat mengakses lowongan pekerjaan yang tersedia di sektor formal, akhirnya masyarakat yang setidaknya harus menghidupi dirinya sendiri, atau bahkan menjadi tulang punggung keluarga harus memutar otak untuk hanya sekedar memenuhi kebutuhan primernya saja, hal ini mendorong masyarakat untuk menjadi pedagang kaki lima yang nota bene tidak memerlukan banyak syarat procedural, atau lisensi ijazah khusus. Dan dalam prakteknya, terdapat pedagang kaki lima yang legal yang biasanya merupakan binaan pemerintah, sehinggan mendapat lahan yang memang diperuntukkan sentra pedagang kaki lima, serta ada pula pedagang kaki lima illegal dimana tempat yang mereka gunakan untuk melakukan kegiatan ekonomis adalah fasilitas umum, pinggir jalan, dan trotoar yang bukan tempat yang layaknya digunakan untuk pedagang kaki lima.
Timbulnya sektor ini menurut Rachmawati  adalah “akibat ketidak seimbangan jumlah penduduk dengan, terutama usia kerjadengan kesempatan kerja serta lapangan usaha. Menurut beliau rasio penyerapan tenaga kerja dapat diilustrasikan bahwasetiap 10 orang pencari kerja, kesempatan kerja yang tersedia adalah sejumlah 2, dan yang memenuhi persyaratan hanya 1 orang saja”.[1] Hal ini berarti kesempatan untuk mendapatkan kerja masih sangat sulit dan selanjutnya berakibat pada peningkatan pengangguran di kota. Salah satu bentuk usaha di bidang informal adalah usaha kecil menengah atau yang sering disebut dengan PKL.
Di lain sisi, Negara yang diberi amanat dalam konstitusi UUD 1945, diantaranya adalah pasal 27 ayat (2) mengamanatkan: “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Pasal 34 UUD 45: (1) Fakir miskin dan anak terlantar di pelihara oleh Negara (2) Negara mengembangkan system jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Dari kutipan UUD 45 di atas, maka dapat kita ketahui bahwa Negara harus memastikan setiap warga negaranya mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dalam hal ini mendapatkan pekerjaan. Dan jika terdapat warga Negara yang tidak mampu untuk bekerja, maka Negara yang merupakan manifestasi dari kekuasaan yang diamanatkan oleh rakyat, harus memeliharanya. Namun demikian tidak tercapainya amanat konstitusi ini membuat masyarakat terdorong untung menciptakan lapangan kerja baru, yang tidak memerlukan lisensi, atau ijazah khusus (PKL). Membludaknya jumlah PKL di kota, selanjutnya akan bersinggungan dengan upaya penertiban kawasan oleh pemeintah daerah.
Kesuksesan penyelenggaraan pemerintahan daerah bergantung kepada terciptanya suasana lingkungan yang kondusif, terkendali, aman, dan sejahterah, sehingga pemerintah daerah dapat menjalankan roda pemerintahan daerah dengan baik, dalam hal ini terlihat betapa pentingnya peranan aparatur penegak disiplin, keamanan dan ketertiban daerah untuk mendukung kelancaran pemerintahan daerah. Satpol PP (satuan polisi pamong praja) dibentuk dengan tujuan untuk menyelenggarakan dan menjaga ketertiban dan ketaatan hukum masyarakat, dalam kaitannya dengan penegaan peraturan daerah. Yang kemudian menjaadi pekerjaan paling disorot masyarakat adalah kinerja satpol PP dalam penertiban PKL, hal ini juga diakibatkan oleh seringnya kasus penertiban PKL sering dimuat dalam media massa, baik elektronik, cetak, maupun digital.
Dalam terminologi peraturan daerah kota Malang no 2 tahun 2012 tentang ketertiban umum dan lingkungan, sebagai mana termaktub dalam pasal 1 no 12, PKL disebut sebagai: “Pedagang yang menjalankan kegiatan usaha dagang dan jasa non formal dalam jangka waktu tertentu dengan menggunakan lahan fasilitas umum yang ditentukan oleh pemerintah daerah sebagai tempat usahannya, baik menggunakan sarana atau perlengkapan yang mudah dipindah, dan/atau mudah dibongkar pasang”.[2]
  Dalam terminologi ini dapat diketahui bahwa PKL atau pedagang kaki lima tidak diartikan sebagai pedagang yang menggunakan bangunan atau tempat jualan semi permanen saja, melainkan dikhususkan lebih kepada pedagang yang melakukan aktifitas pasar, ditempat yang telah disediakan pemerintah daerah. Oleh karena itu PKL harus kemudian dilokalisir dalam tempat-tempat tertentu saja, tidak berhamburan disembarang tempat/fasilitas umum. Dengan kata lain, pedagang kaki lima tidak diperkenankan menggunakan tempat/fasilitas umum yang tidak diperuntukkan untuk pedagang kaki lima.
Lebih lanjut dipertegas dalam pasal 21 dimana PKL dilarang “a). melakukan kegiatan usaha di jalan, trotoar, jalur hijau dan/ atau fasilitas umum, kecuali tempat-tempat yang ditetapkan oleh walikota. b). melakukan kegiatan usaha dengan mendirikan tempat usaha yang bersifat semi permanen dan/atau permanen. c). melakukan kegiatan usaha yang menimbulkankerugian dalam hal kebersihan, keindahan, ketertiban, keamanan dan kenyamanan”. pembukaan lahan untuk PKL harus memperhatikan hal-hal yang telah disebut di atas. Namun demikian semakin kesini penegakan atas perda no 2 tahun 2012 tentang PKL terkesan tidak maksimal, sebagaimana dapat dilihat adanya PKL di beberapa tempat strategis yang ramai, sebagai mana diungkapkan Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan PKL Dinas Pasar Kota Malang Bambang Sugihartono (2015), bahwa “hampir semua PKL di malang itu illegal”.[3] Kurang tegasnya pemkot dalam menindak PKL membuat menjamurnya PKL di jalan-jalan strategis, belum lagi pedagang lama ditindak, pedagang kaki lima baru sudah mulai bermunculan, hal ini dapat kita jumpai di jalan soekarno-hatta, jl. Sigura-gura dll.[4]
Perangkat peraturan daerah tidak diimbangi dengan adanya penegakan yang signifikan, padahal hukum seyognyanya menjadi sarana terciptanya kenyamanan, keindahan, ketertiban dalam bermasyarakat yang dilandasi dengan kesadaran kolektif, karena itulah tujuan dari dibuatnya sperangkat peraturan (perda). Hogwood dan Gunn (dalam Wahab), menjelaskan bahwa:
“Kebijakan publik sebenarnya mengandung resiko untuk gagal. Kegagalan kebijakan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu non-implementation (tidak terimplementasi) dan unsuccessful implementation (implementasi yang tidak berhasil). Kebijakan yang memiliki resiko untuk gagal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, pelaksanaannya yang jelek (bad execution), kebijakannya sendiri memang jelek (bad policy), dan kebijakan yang bernasib jelek (bad luck)”.[5]

Kurangnya kesadaran masyarakat atas usaha penegakan hukum bersama dinilai menjadi salah satu faktor dari tidak efektifnya penegakan hukum di Indonesia pada umumnya. Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa penting untuk melakukan penelitian dengan tema
Kendala Pelaksanaan Pasal 3 Ayat (1) Huruf (b) & (d) Peraturan Daerah No 1 Tahun 2000 Tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima di Wilayah Kota Malang (studi kasus penertiban pkl di kota malang).
B.     Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada bagaimana ketaatan warga masyarakat (pedagang kaki lima) pada perda no 1 tahun 2000, dan bagaimana sikap pemerintah terhadap implementasinya. Untuk membatasi jumlah objek penelitian yang di observasi maka peneliti membatasi pada pedagang kaki lima yang berada di sepanjang jalan soehat, sigura-gura, sunan kalijogo dalam, dan dikawasan pasar merjosari.
C.    Rumusan Masalah
Dari uraian di atas maka dapat ditarik rumusan masalah, adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana implementasi penegakan dan pembinaan PKL di jl. soehat, sigura-gura, sunan kalijogo dalam, dan dikawasan pasar merjosari Kota Malang?
2.      Apakah kendalah-kendala yang yang dihadapi dalam pelaksanaan perda nomor 1 tahun 2000 di Kota Malang?
D.    Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, maka dapat diketahui tujuan dari penelitian ini adalah, sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui implementasi penegakan dan pembinaan PKL di jl. soehat, sigura-gura, sunan kalijogo dalam, dan dikawasan pasar merjosari?
2.      Untuk mengetahui kendalah-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perda nomor 1 tahun 2000 Kota Malang?
3.      Manfaat Penelitian
Berdasarkan kajian di atas maka manfaat pennelitian dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi pemerintah daerah dalam hal penegakan, dan pembinaan pedagang kaki lima di wilayah kota Malang.
2.      Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan untuk selanjutnya digunakan oleh pihak terkait dalam hal penegakan, dan pembinaan Pedagang Kaki Lima di Kota Malang.
4.      Telaah Pustaka
Tinjauan tentang perundang-undangan bukanlah pembahasan yang sama sekali baru pada bidang kajian hukum, khususnya pada tugas akhir sarjana hukum, setidaknya penulis bisa menunjukkan beberapa penelitian sebelumnya yang memiliki tema kajian yang mirip. Hal ini dilakukan untuk dapat diketahui oleh para penguji dan civitas akademika yang akan meninjjau penelitian ini, dan selanjutnya mengetahui bahwa skripsi ini adalah tulisan yang orisinil, dan dapat dipertanggungjawabkan, diantara karya-karya sebelumnya yang dapat penulis paparkan adalah sebagai berikut:
Mamba’ul Ulum, sripsi yang berjudul “Respon pedagang kaki liman(PKL) terhadap kebijakan relokasi (Studi Kasus di Paguyuban PKL demantu Yogyakarta.[6] Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa penertiban dan relokasi terhadap PKL berdampak kepada pemerintah, masyarakat dan pedagang kaki lima pada khususnya. Relokasi yang akan diberlakukan oleh pemerintah, tidak memberikan informasi yang jelas terkait tempat yang baru, skripsi ini menyoroti apakah implementasi  relokasisudah sesuai dengan perda kabupaten magelang No. 7 tahun 2009 penataan pemberdayaan pedagang kaki lima.
Arif budiono,[7] dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa revitalisasi alun-alun kota Kebumen belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pemerintah, dan masyarakat, serta dianggap tidak tepat sasaran.
Aris Suar Bhakti I,[8] Menyimpulakan bahwa upaya petugas dalam melaksanakan perda nomer 7 tahun 2012, penyelenggaraan dan pengelolaan pedagang kaki lima (PKL) sudah dilakukan dengan baik, namun masih ada kerangan. Salah satunya adalah belum tersedianya lahan yang disediakan oleh pemerintah untuk digunakan pedagang kaki lima dengan nyaman.
E.     Metode Penelitian
Metode penelitian dimaksudkan agar memudahkan peneliti dalam mengumpulkan dan menganalisis data, selain itu metode penelitian juga menggambarkan bagaimana keabsahan suatu penelitian, dan selanjutnya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Adapun metode penelitian yang digunakan penyususun adalah sebagai berikut:
F.     Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana data yang digunakan berupa kata, tindakan dan proses, “…metode ini akan mengandalkan pada pertanyaan tertulis dan lisan subjektif mengenai arti yang diberikan oleh individu yang dikaji”.[9] Dan jenis penis penelitian ini adalah diskriptif.
G.    Kehadiran Peneliti
Untuk mendapatkan jawaban, menelaah dan menganalisis secara mendalam mengenai permasalahan yang dirumuskan oleh peneliti, maka kehadiran peneliti pada lokasi penelitian menjadi sangat penting, hal ini dikarenakan peneliti dalam penelitian kualitatif adalah merupakan instrument utama. Dimana ia sebagai perencana, pengumpul data, penafsir data.[10] Proses tersebut dilakuakan pada latar alamiah dengan menggunakan teknik wawancara dan metode dokumentasi.
H.    Lokasi Penelitian
Untuk menghindari bias dalam penelitian ini, maka penulis ingin membatasi bahwa penelitian ini dilakukan di kota malang, dalam hal ini peneliti akan banyak menggali data dari dinas terkait dengan penanganan pedagang kaki lima, dalam hal ini adalah dinas pasar kota malang.
I.       Sampling
Pada penelitian ini, peneliti tidak menggunakan sampel acak, karena dalam penelitian kualitatif tidak membutuhkan banyak sampel yang representative seperti pada penelitian nonkualitatif. Oleh karena itu peneliti menggunakan sampel bertujuan, sebagaimana diungkapkan Moleong “pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan”.[11] Dalam hal ini peneliti menentukan siapa saja yang akan digalih datanya.
J.      Jenis dan Sumber Data
Lafland dalam Moleong menjelaskan bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan, dan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Jenis datanya dibagi menjadi dua, yakni kata-kata dan tindakan.[12] Dalam penelitian ini data akan diperoleh dari dinas yang terkait dan para pedagang kaki lima.
K.    Teknik Pengumpulan Data
Ada bebrapa teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif, “periset memiliki beberapa metode pengumpulan bahan-bahan empiris, mulai dari wawancara, pengamatan lansung, analisis artefak, dokumen, catatan cultural, penggunaan bahan-bahan visual, sampai dengan pengalaman pribadi”.[13] Pada penelitian kualitatif, peneliti harus menyediakan alat-alat pendukung, seperti tape recorder, alat tulis, selain itu kesiapan dari peneliti juga harus disiapkan.[14] Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa wawancara, dan dokumentasi.
a.       Observasi (Pengamatan)
Pengamatan dapat dibedakan menjadi beberapa klasifikasi, pengamatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengamatan berperanserta dan pengamatan tidak berperanserta. Dikatakan pengamatan berperan serta jika peneliti melakukan pengamatan dengan dua fungsi, pertama pengamat menjadi seorang pengamat, dan yang kedua peneliti juga merangkap sebagai peserta dalam subyek pengamatan. Dalam hal ini peneliti hanya melakukan pengamatan tidak berperanserta.[15]
b.      Wawancara
Wawancara adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh interviewer (pewawancara) dan interviewee (yang diwawancarai) atau informan, dalam hal ini interview dimaksudkan untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian. Licoln dan Guba menjelaskan bahwa interview dimaksudkan untuk mengonstruksi orang, kejadian, kegiatan perasaan, motivasi, tuntutan. Memverifikasi mengubah dan memperluas informasi dari orang lain.[16]
Dalam pengertian di atas maka dapat diketahui dalam pengumpulan data peneliti juga melakukan verifikasi, atau dalam penelitian kualitatif lebih sering disebut sebagai teknik triangulasi. Hal ini dimaksudkan untuk melihat kebsahan suatu data, sehingga dapat dilanjutkan dengan tahap selanjutnya, yakni analisis, atau penafsiran data. Ada beberapa cara dalam melakukan wawancara, sebagai mana dijelaskan Potton, sebagai berikut:[17]
(1)   Wawancara pembicaraan informal
Wawancara dilakukan dengan suasana santai dan alami, seperti percakapan pada kehidupan sehari-hari. sedangkan pertanyaa-pertanyaan yang diajukan pewawancara diajukan secara spontanias. Jenis ini biasanya digunakan ketika peneliti sudah mengetahui hal-hal yang mungkin akan dijawab oleh informan.
(2)   Pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara
Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara menggunakan pemandu wawancaara, yakni garis-garis besar, pokok-pokok pertanyaan yang akan diajukan, namun pertanyaan tidak harus ditanyakan secara berurutan. Pedoman wawancara hanya berupa petunjuk-petunjuk pokok wawancara yang direncanakan dapat tercakup secara keseluruhan.
(3)   Wawancara buku terbuka
Wawancara buku terbuka dilakukan dengan menggunakan petunjuk pertanyaan dan cara menanya kepada informan yang sama, antara yang tertulis dengan yang akan ditanyakan. Wawancara jenis ini dilakukan ketika jumlah informan banyak, dan jumlah pewawancara juga banyak.
(4)   Wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur
Wawancara terstruktur adalah wawancara yang pewawancara menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan yang akan diajukan. Pokok-pokok yang dijadikan dasar pertanyaan diatur secara sangat terstruktur. Wawancara semacam ini jarang sekali melakukan pendalaman pertanyaan.
Wawancara tak terstruktur adalah wawancara yang dilakukan ketika responden terdiri dari orang-orang yang dipilih saja, hal ini dikarenakan pewawancara meyakini bahwaresponden adalah orang yang mengetahui, dan menguasai informasi yang diperlukan.
c.       Dokumentasi
Herdiansyah menjelakan bahwa studi dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau dibuat orang lain tentang subjek.[18] Studi dokumentasi merupakan salah satu cara peneliti untuk mendapatkan data, atau gambaran melalui dokumen yang dibuat dari sudut pandang subjek.
Meleong dalam Ardiansyah menyebutkan ada dua bentuk dokumen yang dapat dijadikan bahan dalam studi dokumentasi, sebagai berikut:[19]
(1)   Dokumen pribadi
Dokumen pribadi adalah catatan atau karangan seseorang secara tertulis tentang tindakan, pengalaman, dan kepercayaanya. Tujuan dari teknik ini adalah untuk mengetahui suatu fenomena, atau kejadian yang ingin diteliti melalui pelaku langusng, bagaimana pelaku merasakan dan mengartikan kejadian tersebut, disertai dengan bagaimana lingkup social yang menyertainya.
Terdapat tiga dokumen yang dapat digunakan peneliti kualitatif untuk dianalisis, yaitu catatan harian, surat pribadi, dan autobiografi, selanjutnya dijelaskan sebagai berikut:[20]
(a)    Catatan harian
Catatan harian merupakan catatan yang ditulis pribadi oleh subjek, yang otentik, yang berisi setiap curahan hati subyek, peneliti kualitatif percaya bahwa catatan harian memiliki unsure subjektif, spesifik, dan unik, yang dapat menggambarkan situasi yang dialami oleh subjek.
Dijaman digital ini orang yang menulis keluh kesah yang dihadapinya dalam buku harian sudah semakin jarang, mereka lebih memilih menggunakan media digital yang sekarang mulai rame-rame digunakan orang Indonesia.
(b)   Surat pribadi
Analisis dokumen juga bisa dilakukan menggunakan surat pribadi yang ditulis oleh subyek, suratini setidaknya bisa menggambarkan dua hal, pertama unsur perasaan dan pikiran penulis surat, dan yang kedua adalah hubungan antara penulis surat dengan orang lain.
(c)    Autobiografi
Autobiografi berasal dari bahasa yunani yang berasal dari tiga suku kata, yakni autos (sendiri) bios (hidup) dan graphien yang berarti menulis. secara definisi autobiografi adalah suatu tulisan mengenai penggalan hidup, perasaan, pengalaman hidup atau suatu fase kehidupan yang ditulis oleh individu yang bersangkutan, atau sekelompok orang sesuai dengan situasi dan kondisinya secara nyata.
(2)   Dokumen resmi
Moleong menjelaskan bahwa dokumen resmi dapat dibagi menjadi dua, yakni dokumen internal dan dokumen eksternal. Dokumen internal dapat berupa catatan, seperti memo, pengumuman, intruksi, aturan suatu lembaga, system yang diberlakukan, hasil notulensi rapat keputusan pimpinan, dan lain sebagainya. Sedangkan dokumen eksternal dapat berupa bahan-bahan informasi yang dihasilkan oleh suatu lembaga social, seperti majalah, Koran, bulletin, surat pernyataan, dan lain sebagainya.[21]
Selain yang telah disebutkan di atas karya lain dari subjek juga dapat digunakan, seperti lukisan, puisi, dan karya yang lainnya.


L.     Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan data dapat dilakukan dengan membandingkan data dengan data lain yang berada diluar data tersebut, “data yang diperoleh dicek kembali pada sumber yang sama dalam waktu yang berbeda, atau dicek dengan menggunakan data yang berbeda”,[22] proses ini lebih sering disebut dengan istilah triangulasi. Triangulasi dapat dilakukan dengan mengonfirmasi sumber, hal ini dapat dilakukan dengan mendatangi informan dan menanyakan pertanyaan yang sama. Lebih lanjut diuraikan sebagai berikut:[23]
1.      Triangulasi dengan sumber
Tringulasi sumber dapat dilakukan dengan membandingkan dan mengecek balik derajad kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda. Hal ini dapat dicapai dengan;
a.       Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
b.      Membandingkan apa yang dikatakan orang dimuka umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.
c.       Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
d.      Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang-orang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berbeda, orang pemerintahan,
e.       Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan
Pengecekan keambsahan data ini bukan untuk mencari kesamaan pendapat, atau pandangan. Yang diutamakan dalam pengecekan ini adalah mengetahui adanya alas an-alasan terjadinya perbedaan-perbedaan tersebut.







2.      Triangulasi dengan metode
Jenis triangulasi ini memiliki strategi yang harus dilakukan, (1) pengecekan derajad kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data, dan (2) pengecekan derajad kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sma.
3.      Triangulasi dengan teori
Triangulasi dengan teori menjelaskan bahwa fakta tidak dapat diperiksa derajad kepercayaanya dengan menggunakan satu teori atau lebih. Hal ini dipertegas bahwa yang demikian adalah dinamakan penjelasan banding (reveal explanation).

M.   Analisis Data
Proses menganalisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh, baik dari wawancara, maupun dari dokumentasi. Selanjutnya peneliti melakukan reduksi sehingga diperoleh rangkuman, atau abstraksi dari data-data yang terkumpul, yang selanjutnya dilakukan coding. Tahap terahir dari proses analisis data adalah dilakukan pengecekan keabsahan data, setelah tahap ini diselesaikan barulah peneliti melakukan proses penafsiran terhadap data sementara. Sebagaimana dijelaskan lexy. J. Moleong:
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, baik data wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan…. Setelah ditelaah langkah berikutnya peneliti kualitatif mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan diabstraksi… langkah sselanjutnya adalah menyususnya dalam satuan-satuan. Satuan-satuan itu kemudian dikategorikan pada langkah berikutnya. Kategori-kategori ini dibuat sambil melakukan koding. … mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Setelah tahap ini, mulailah tahap penafsiran data…[24]

Lawrence menjelaskan bahwa analisis data mencakup proses menguji, menyeleksi, menyortir mengategorikan, mengevaluasi, membandingkan, menyintesiskan, dan merenungkan data yang telah direkam, juga meninjau kembali data mentah dan rekaman.[25] Adapun Seiddel menjelaskan bahwa proses dari analisis data kualitatif adalah sebagai berikut:[26]
a.       Mencatat dan menghasilkan catatan lapangan, dengan hal ini diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.
b.      Mengumpulkan, memilih dan memilah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya.
c.       Berpikir dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubunggan-hubungan, dan membuat temuan-temuan umum.
Dari uraian di atas penelitian kualitatif dilakukan dengan jalan turun ke lapangan untuk mendapatkan data-data mentah untuk kemudian dilakukan proses reduksi, atau menyederhanakan data dan kemudia dilakukan pengkategorisasian, agar lebih mudah untuk dilacak kembali, selanjutnya dilakukan proses penafsiran untuk kemudian disajikan dalam suatu laporan.








Salim, Agus, Teori Dan Paradigm Penelitian Sosial (Yogyakarta: tiara wacana, 2006)
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2009)
Ghony, Djunaidi & Almanshur, Fauzan, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jogjakarta: AR-Ruzz Media, 2012)
Basrowi & Suwardi, Memahami Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rineka Cipta, 2008)
Herdiansyah, Haris, Metode Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2010)












Pustaka I
Madjid, Rachmawati, Jurnal Ekonomi (Vol. 1 No. 3 Mei – Agustus), 2013
Efita, Eka, dkk., Jurnal, Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima “Studi Pada Batu Tourism Center Di Kota Batu” (Jurnal Administrasi Publik: vol. 1 No. 5)





[1] Rachmawati Madjid, Jurnal Ekonomi (Vol. 1 No. 3 Mei – Agustus) hlm. 60, 2013
[2] http://jdih.jatimprov.go.id/?wpfb_dl=13922 (diakses tgl 18 februari 2017) 09.43 WIB
[5] Eka efita, dkk., Jurnal, Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima “Studi Pada Batu Tourism Center Di Kota Batu” (Jurnal Administrasi Publik: vol. 1 No. 5) hlm. 943
[6] Mamba’ul Ulum, Respon Pedagang Kaki Lima (PKL) Terhadap Kebijakan Relokasi (Studi Kasus Paguyuban PKL Demantu Di Yogyakarta, (Skripsi Fakultas Dakwa Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jagayogyakarta, 2010)
[7] Arif Budiono, Revitaalisasi Kota Kebumen Terhadap Perekonomianpedagang Kaki Lima, (Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga Yogyakarta, 2011)
[8] Arisman Suar bhakti I, pelaksanaan peraturan daerah kota baubau nomor 7 tahun 2012 tentang pengelolaan pedagang kaki lima dan pedagang kaki lima musiman, (skripsi fakulltas hukum universitas hasanuddin, 2014)
[9] Agus Salim, Teori Dan Paradigm Penelitian Sosial (Yogyakarta: tiara wacana, 2006), hlm 55
[10] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2009), hlm 168
[11] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hlm 224
[12] Ibid,, hlm 157
[13] Agus Salim, Ibid,, 61
[14] Djunaidi Ghony & Fauzan almanshur,metodologi penelitian kualitatif (Jogjakarta: AR-Ruzz Media, 2012), hlm 163
[15] Lexy J. Moleong, motodologi penelitian kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hlm 176
[16] Basrowi & Suwardi, Memahami Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm 127
[17] Ibid,,..
[18] Haris Herdiansyah, Metode Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial ( Jakarta: Salemba Hmanika, 2010), hlm 143
[19] Ibid, 143
[20] Ibid,, 144-145
[21] Ibid,, 146
[22] Ibid,, 318
[23] Ibid,, 322-323
[24] Djunaidi M. Ghony,, ibid.. 245-246
[25] Ibid,, 246
[26] Ibid,, 248

Related Posts: